Menghadap ke arah Kiblat merupakan syarat sah shalat. Tidak ada
perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai hal ini baik di
kalangan Sunni maupun Syi’i. Namun, dalam tataran praktis ummat Islam
belum sepenuhnya mengamalkan syari’at tersebut secara akurat. Ketika
shalat, ummat Islam menghadapkan badannya ke arah Kiblat tanpa
mengetahui secara persis apakah Kiblat yang dimaksudnya benar-benar
tertuju ke Ka’bah sebagai episentrum arah shalat setiap ummat Islam di
seluruh dunia. Ummat Islam menghadapkan badannya ke Kiblat hanya
didasarkan pada garis lurus yang terdapat dalam konstruksi masjid atau
mushalla. Ke manapun masjid atau mushalla mengarah, ke situ pulalah
ummat Islam menghadapkan dirinya ketika shalat. Di antara ummat
Islam jarang sekali ada yang mempertanyakan terlebih dahulu apakah
arah Kiblat masjid yang menjadi tempat shalatnya sudah tepat
mengarah ke Ka’bah atau belum. Keumuman dari mereka langsung
malaksanakan shalat di masjid atau maushalla yang menjadi tempat
shalatnya.
Sikap ummat Islam yang tidak mempertanyakan atau mengkritisi
arah Kiblat masjid dan mushallanya disebabkan oleh kepercayaan mereka
2
kepada panitia, tokoh agama, atau para pihak yang membangun masjid
atau mushalla tersebut sejak awal. Jama’ah masjid atau mushalla tidak
mau direpotkan oleh masalah-masalah teknis pembangunan fisik tempat
shalatnya, yang penting mereka bisa khusyu’ melaksanakan ibadah.
Ketika bangunan masjid atau mushalla dibangun, jama’ah pada umumnya
percaya bahwa masjid atau mushalla tersebut sudah mengarah ke Kiblat.
Indikasi sederhana bahwa bangunan masjid atau mushalla mengarah ke
Kiblat adalah menghadap ke arah barat. Bila masjid atau mushalla telah
menghadap ke arah barat, maka urusan Kiblat telah dianggap selesai
Comment with Facebook
Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan kami. Kami berhak mengubah atau menghapus kata-kata yang tidak etis, kasar, berbau fitnah dan pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras, dan antar golongan.